Prosedur Adaptasi Alat Ukur

Salah satu kesalahan umum dalam proses adaptasi adalah bahwa adaptasi hanya dilakukan dengan menerjemahkan alat ukur dari bahasa asing ke bahasa Indonesia. Padahal jika dipelajari lebih dalam lagi, adaptasi bukan semata-mata menerjemahkan alat ukur, namun juga menyesuaikan apakah tes tersebut kontekstual dengan kondisi sosial budaya masyarakat tujuan. Adaptasi alat ukur meliputi aktivitas dari menentukan apakah alat ukur dapat mengukur konstruk yang sama dalam bahasa dan budaya yang berbeda, memilih penerjemah, memutuskan akomodasi yang sesuai, sampai mengecek kesetaraannya dalam bentuk yang diadaptasi (Hambleton, Merenda, & Spielberger 2005).

Adaptasi tes verbal memang memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi jika dibanding adaptasi tes numerik/figurall. Hal ini karena adanya perbedaan makna kata jika diterjemahkan begitu saja. Oleh karena itu adaptasi perlu dilakukan untuk melihat kesesuaian makna namun tetap kontekstual dengan kondisi budaya setempat. Beaton, Bombardier, Guillemin, dan Ferraz (2000) membuat panduan langkah-langkah untuk peneliti dalam melakukan proses adaptasi suatu skala ke dalam bahasa dan konteks budaya yang berbeda dengan skala asli. Secara garis besar ada lima tahap yang harus dilalui, yakni:
1.    Tahap pertama adalah menerjemahkan tes asli ke bahasa sasaran. Terjemahan dilakukan oleh dua orang yang bekerja independen. Penerjenah haruslah memiliki kemampuan baik dalam dua bahasa, baik bahasa asal alat tes maupun bahasa sasaran alat tes. Salah satu penerjemah juga harus memiliki pemahaman kuat tentang konsep teori skala tes yang ingin diterjemahkan. Menerjemahkan bahasa item tidak sama dengan menerjemahkan kalimat per kalimat, apalagi kata demi kata. Penerjemahan tidak hanya sekedar mengganti bahasa yang digunakan, namun juga konteks kulturnya.
2.  Tahap kedua adalah sintesis. Dari dua terjemahan tadi, kemudian dicari persamaan dan perbedaannya hingga akhirnya diperoleh satu terjemahan yang disepakati yang selanjutnya disebut sebagai draf skala terjemahan.
3.    Tahap ketiga adalah terjemahan balik ke bahasa asal. Draf skala terjemahan yang sudah disusun kemudian diterjemahkan kembali ke bahasa asal skala itu dibuat. Terjemahan balik dilakukan oleh penerjemah profesional yang akan bekerja untuk menerjemahkan draf skala tersebut secara mandiri. Hasil terjemahan balik kemudian dibandingkan dengan skala aslinya, apakah ada perbedaan makna dalam hasil terjemahan tersebut.
4.    Tahap keempat adalah diskusi dengan ahli, dalam hal ini bisa berupa pembuat tes asli, ahli bahasa, ahli pengukuran, atau siapapun yang menguasai konsep tes yang disusun. Disukusi ini dilakukan guna memastikan adanya kesetaraan makna antara skala asli dengan skala yang sudah diterjemahkan. Jika dirasa tidak ada perbedaan makna dari kedua skala tersebut, maka dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya.
5.    Tahap kelima adalah try out dengan mengijocobakan tes ke subjek dalam jumlah kecil. Uji coba ke subjek dalam jumlah kecil ini dilakukan untuk mengetahui apakah instruksi dan item dalam skala tersebut dapat dipahami dengan baik oleh responden atau belum. Jika secara kualitatif item dalam tes sudah bisa dipahami, baru dilakukan uji validitas dan reliabilitas dengan jumlah sampel yang lebih besar.
6.    Tahap terakhir adalah pengumpulan tes yang diadaptasi ke pengembang tes asli agar data tes terdokumentasi. Dengan demikian penggunaan tes untuk studi lintas budaya dapat lebih maksimal.
Adaptasi yang baik haruslah terdokumentasi. Dokumentasi ini penting bagi arsip pengembang tes, agar pengguna tes dari negara dan bahasa lain dapat menggunakannya secara terstandar. Jadi sepatutnya, sebelum melakukan adaptasi, peneliti menghubungi pengembang tes untuk izin dan meminta kerjasama selama proses adaptasi. Begitu juga setelah adaptasi telah selesai, peneliti juga harus melaporkan hasilnya kepada pengembang tes untuk dokumentasi. Sehingga peneliti lain bisa dengan mudah mendapatkan alat ukur tersebut tanpa perlu melakukan proses adaptasi ulang.

Hal yang tidak boleh dilakukan dalam adaptasi adalah menambah atau mengurangi jumlah item serta mengubah struktur tes. Misalkan, dikarenakan ada beberapa item yang memiliki daya beda rendah kemudian peneliti menghapus item tersebut. Atau dikarenakan pilihan jawaban sampai lima pilihan cukup membingungkan subjek, maka peneliti mengganti dengan tiga pilihan jawaban.

Pada dasarnya, salah satu tujuan dan prinsip mengapa adaptasi alat ukur perlu dilakukan adalah agar dapat dilakukan studi lintas budaya dengan alat ukur yang setara. Jika alat ukur sudah dimodifikasi baik itu jumlah item maupun struktur tesnya, tentu hasil yang diperoleh tidak dapat lagi diperbandingkan. Dengan kata lain, jika di Amerika variabel X dan Y korelasinya 0,5 dengan jumlah item 20; sedangkan di Indonesia nilai korelasinya 0,3 dengan jumlah item 15; maka nilai korelasi tersebut tidak komparable karena jumlah item yang sudah berbeda.

Beberapa kesalahan umum terkait prosedur adaptasi yang ada di Indonesia diantaranya:
1. Adaptasi tes tanpa izin atau pemberitahuan ke pengembang tes asli. 
Utuk tes-test tertentu, izin itu mutlak diperlukan sebagai bagian dari penghargaan hak intelektualitas. Sementara bagi tes yang tidak memerlukan izin, pemberitahuan penting dilakukan untuk dokumentasi pengembang alat tes.
2. Adaptasi semata-mata hanya menerjemahkan bahasa
Ini sering dilakukan peneliti ketika ingin mengadaptasi instrumen untuk penelitiannya. Peneliti mengatakan adaptasi, padahal dia hanya menerjemahkan tanpa melakukan memastikan apakah terjemahannya sudah setara atau belum. Apalagi jika terjemahan itu dilakukan oleh peneliti sendiri
3. Alat ukur adaptasi tidak perlu diujicobakan lagi
Ini juga kesalahan umum para peneliti kita. Ketika mereka melakukan adaptasi, banyak yang menganggap tidak perlu lagi menguji validitas dan reliabilitasnya karena sudah diuji sebelumnya oleh pengembang tes asli. Padahal kita tahu bahwa reliabilitas itu kontekstual sesuai dengan subjeknya. Jadi tes yang sudah valid dan reliabel di luar belum tentu valid dan reliabel jika digunakan di Indonesia.
4. Kita bisa memakai norma dari tes asli untuk menginterpretasikan data kita
Norma dibuat untuk membandingkan skor individu dengan skor kelompoknya. Tes yang sudah diadaptasi ada baiknya dibuat juga normanya sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Hal ini dikarenakan ada perbedaan sosio-kultural yang juga berpengaruh pada interpretasi skor. Kasus yang paling sering adalah ketika kita menginterpretasikan skor EPPS dengan norma asli (dari Barat), maka heterosexualty orang Indonesia pasti akan cenderung rendah (ada kecenderungan homoseksual). Padahal itu karena item yang telalu vulgar bagi masyarakat kita dan norma yang diguanakan berasal dari Barat yang berbeda dengan budaya kita.
5. Menambah atau mengurangi item jika ternyata item tersebut tidak memuaskan
salah satu alasan kenapa adaptasi itu penting adalah untuk studi lintas budaya agar didapat hasil yang komparable. Penambahan atau pengurangan jumlah item tentu akan menghilangkan fungsi tersebut.

Contoh artikel terkait Adaptasi tes yang sudah dipublikasikan ke website pengembang dapat didownload di sini. 

Referensi
Beaton, D. E., Bombardier, C., Guillemin, F., & Ferraz, M. B. (2000). Guidelines for the process of cross-cultural adaptation of self-report measures. Spine, 25(24), 3186–3191.

Hambleton, R.K ., Merenda, P.F., & Spielberger, C.D. (Eds) (2005). Adapting Educational and Psychological Tests for Cross-Cultural Assessment. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Mahasiswa PhD di ELTE, Hungaria. Dosen Psikologi di UMM, Indonesia.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

2 komentar

Write komentar
June 27, 2020 at 7:41 AM delete

Mantap Gan.


Salam dari Bimbingan p. Salis Angkatan 2019 Psikologi

Reply
avatar
Salah satu kesalahan umum dalam proses adaptasi adalah bahwa adaptasi hanya dilakukan dengan menerjemahkan alat ukur dari bahasa asing ke bahasa Indonesia. Padahal jika dipelajari lebih dalam lagi, adaptasi bukan semata-mata menerjemahkan alat ukur, namun juga menyesuaikan apakah tes tersebut kontekstual dengan kondisi sosial budaya masyarakat tujuan. Adaptasi alat ukur meliputi aktivitas dari menentukan apakah alat ukur dapat mengukur konstruk yang sama dalam bahasa dan budaya yang berbeda, memilih penerjemah, memutuskan akomodasi yang sesuai, sampai mengecek kesetaraannya dalam bentuk yang diadaptasi (Hambleton, Merenda, & Spielberger 2005).

Adaptasi tes verbal memang memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi jika dibanding adaptasi tes numerik/figurall. Hal ini karena adanya perbedaan makna kata jika diterjemahkan begitu saja. Oleh karena itu adaptasi perlu dilakukan untuk melihat kesesuaian makna namun tetap kontekstual dengan kondisi budaya setempat. Beaton, Bombardier, Guillemin, dan Ferraz (2000) membuat panduan langkah-langkah untuk peneliti dalam melakukan proses adaptasi suatu skala ke dalam bahasa dan konteks budaya yang berbeda dengan skala asli. Secara garis besar ada lima tahap yang harus dilalui, yakni:
1.    Tahap pertama adalah menerjemahkan tes asli ke bahasa sasaran. Terjemahan dilakukan oleh dua orang yang bekerja independen. Penerjenah haruslah memiliki kemampuan baik dalam dua bahasa, baik bahasa asal alat tes maupun bahasa sasaran alat tes. Salah satu penerjemah juga harus memiliki pemahaman kuat tentang konsep teori skala tes yang ingin diterjemahkan. Menerjemahkan bahasa item tidak sama dengan menerjemahkan kalimat per kalimat, apalagi kata demi kata. Penerjemahan tidak hanya sekedar mengganti bahasa yang digunakan, namun juga konteks kulturnya.
2.  Tahap kedua adalah sintesis. Dari dua terjemahan tadi, kemudian dicari persamaan dan perbedaannya hingga akhirnya diperoleh satu terjemahan yang disepakati yang selanjutnya disebut sebagai draf skala terjemahan.
3.    Tahap ketiga adalah terjemahan balik ke bahasa asal. Draf skala terjemahan yang sudah disusun kemudian diterjemahkan kembali ke bahasa asal skala itu dibuat. Terjemahan balik dilakukan oleh penerjemah profesional yang akan bekerja untuk menerjemahkan draf skala tersebut secara mandiri. Hasil terjemahan balik kemudian dibandingkan dengan skala aslinya, apakah ada perbedaan makna dalam hasil terjemahan tersebut.
4.    Tahap keempat adalah diskusi dengan ahli, dalam hal ini bisa berupa pembuat tes asli, ahli bahasa, ahli pengukuran, atau siapapun yang menguasai konsep tes yang disusun. Disukusi ini dilakukan guna memastikan adanya kesetaraan makna antara skala asli dengan skala yang sudah diterjemahkan. Jika dirasa tidak ada perbedaan makna dari kedua skala tersebut, maka dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya.
5.    Tahap kelima adalah try out dengan mengijocobakan tes ke subjek dalam jumlah kecil. Uji coba ke subjek dalam jumlah kecil ini dilakukan untuk mengetahui apakah instruksi dan item dalam skala tersebut dapat dipahami dengan baik oleh responden atau belum. Jika secara kualitatif item dalam tes sudah bisa dipahami, baru dilakukan uji validitas dan reliabilitas dengan jumlah sampel yang lebih besar.
6.    Tahap terakhir adalah pengumpulan tes yang diadaptasi ke pengembang tes asli agar data tes terdokumentasi. Dengan demikian penggunaan tes untuk studi lintas budaya dapat lebih maksimal.
Adaptasi yang baik haruslah terdokumentasi. Dokumentasi ini penting bagi arsip pengembang tes, agar pengguna tes dari negara dan bahasa lain dapat menggunakannya secara terstandar. Jadi sepatutnya, sebelum melakukan adaptasi, peneliti menghubungi pengembang tes untuk izin dan meminta kerjasama selama proses adaptasi. Begitu juga setelah adaptasi telah selesai, peneliti juga harus melaporkan hasilnya kepada pengembang tes untuk dokumentasi. Sehingga peneliti lain bisa dengan mudah mendapatkan alat ukur tersebut tanpa perlu melakukan proses adaptasi ulang.

Hal yang tidak boleh dilakukan dalam adaptasi adalah menambah atau mengurangi jumlah item serta mengubah struktur tes. Misalkan, dikarenakan ada beberapa item yang memiliki daya beda rendah kemudian peneliti menghapus item tersebut. Atau dikarenakan pilihan jawaban sampai lima pilihan cukup membingungkan subjek, maka peneliti mengganti dengan tiga pilihan jawaban.

Pada dasarnya, salah satu tujuan dan prinsip mengapa adaptasi alat ukur perlu dilakukan adalah agar dapat dilakukan studi lintas budaya dengan alat ukur yang setara. Jika alat ukur sudah dimodifikasi baik itu jumlah item maupun struktur tesnya, tentu hasil yang diperoleh tidak dapat lagi diperbandingkan. Dengan kata lain, jika di Amerika variabel X dan Y korelasinya 0,5 dengan jumlah item 20; sedangkan di Indonesia nilai korelasinya 0,3 dengan jumlah item 15; maka nilai korelasi tersebut tidak komparable karena jumlah item yang sudah berbeda.

Beberapa kesalahan umum terkait prosedur adaptasi yang ada di Indonesia diantaranya:
1. Adaptasi tes tanpa izin atau pemberitahuan ke pengembang tes asli. 
Utuk tes-test tertentu, izin itu mutlak diperlukan sebagai bagian dari penghargaan hak intelektualitas. Sementara bagi tes yang tidak memerlukan izin, pemberitahuan penting dilakukan untuk dokumentasi pengembang alat tes.
2. Adaptasi semata-mata hanya menerjemahkan bahasa
Ini sering dilakukan peneliti ketika ingin mengadaptasi instrumen untuk penelitiannya. Peneliti mengatakan adaptasi, padahal dia hanya menerjemahkan tanpa melakukan memastikan apakah terjemahannya sudah setara atau belum. Apalagi jika terjemahan itu dilakukan oleh peneliti sendiri
3. Alat ukur adaptasi tidak perlu diujicobakan lagi
Ini juga kesalahan umum para peneliti kita. Ketika mereka melakukan adaptasi, banyak yang menganggap tidak perlu lagi menguji validitas dan reliabilitasnya karena sudah diuji sebelumnya oleh pengembang tes asli. Padahal kita tahu bahwa reliabilitas itu kontekstual sesuai dengan subjeknya. Jadi tes yang sudah valid dan reliabel di luar belum tentu valid dan reliabel jika digunakan di Indonesia.
4. Kita bisa memakai norma dari tes asli untuk menginterpretasikan data kita
Norma dibuat untuk membandingkan skor individu dengan skor kelompoknya. Tes yang sudah diadaptasi ada baiknya dibuat juga normanya sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Hal ini dikarenakan ada perbedaan sosio-kultural yang juga berpengaruh pada interpretasi skor. Kasus yang paling sering adalah ketika kita menginterpretasikan skor EPPS dengan norma asli (dari Barat), maka heterosexualty orang Indonesia pasti akan cenderung rendah (ada kecenderungan homoseksual). Padahal itu karena item yang telalu vulgar bagi masyarakat kita dan norma yang diguanakan berasal dari Barat yang berbeda dengan budaya kita.
5. Menambah atau mengurangi item jika ternyata item tersebut tidak memuaskan
salah satu alasan kenapa adaptasi itu penting adalah untuk studi lintas budaya agar didapat hasil yang komparable. Penambahan atau pengurangan jumlah item tentu akan menghilangkan fungsi tersebut.

Contoh artikel terkait Adaptasi tes yang sudah dipublikasikan ke website pengembang dapat didownload di sini. 

Referensi
Beaton, D. E., Bombardier, C., Guillemin, F., & Ferraz, M. B. (2000). Guidelines for the process of cross-cultural adaptation of self-report measures. Spine, 25(24), 3186–3191.

Hambleton, R.K ., Merenda, P.F., & Spielberger, C.D. (Eds) (2005). Adapting Educational and Psychological Tests for Cross-Cultural Assessment. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

2 comments

Artikel Lainnya